KEPERAWATAN SISTEM REPRODUKSI I
“SEXUAL TRANSMITED DISEASE HIV/AIDS ”
Oleh:
Kelompok
9
1. Diana Yuli Utami (101.0023)
2. Dwi Adi Wicaksono (101.0027)
3. Fetriana
Ayu Dwitanti (101.0041)
4. Meylisa Kusuma D. (101.0071)
5. Tri Wahyuni (101.0107)
A. Definisi HIV/AIDS
AIDS dapat diartikan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
termasuk dalam famili retroviridae.
Penyakit ini ditandai oleh infeksi oportunistik dan atau beberapa jenis
keganasan tertentu. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
Acquired Immune Deficiency Syndrome
atau yang lebih dikenal dengan dengan AIDS adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh virus HIV yaitu: H= Human (manusia), I= Immuno deficiency (berkurangnya
kekebalan), V= Virus.
Maka dapat dikatakan HIV adalah
virus yang menyerang dan merusak sel kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh
kehilangan daya tahan dan mudah terserang berbagai penyakit antara lain TBC,
diare, sakit kulit, dll. Kumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh kita
itulah yang disebut AIDS, yaitu: A= Acquired (didapat), I= Immune (kekebalan
tubuh),D= Deficiency (kekurangan), S= Syndrome (gejala). Maka, selama bertahun-tahun orang dapat
terinfeksi HIV sebelum akhirnya
mengidap AIDS. Namun penyakit yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS
adalah sejenis radang paru-paru yang langka, yang dikenal dengan nama pneumocystis
carinii pneumonia (PCP), dan sejenis kanker kulit yang langka yaitu kaposi’s
sarcoma (KS).
Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan
sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah kita lahir dan disebabkan oleh HIV
atau Human Immunodeficiency Virus. AIDS bukan penyakit turunan, oleh
sebab itu dapat menulari siapa saja. Virusnya sendiri bernama Human
Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik
ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju
perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Penyakit ini kadang disebut “infeksi oportunistik”, karena penyakit ini
menyerang dengan cara memanfaatkan kesempatan ketika kekebalan tubuh menurun
sehingga kanker dan infeksi oportunistik inilah yang dapat menyebabkan
kematian. Biasanya penyakit ini baru muncul dua sampai tiga tahun
setelah penderita didiagnosis mengidap AIDS. Orang yang mengidap KS mempunyai
kesempatan hidup lebih lama dibandingkan orang yang terkena infeksi
oportunistik. Akan tetapi belum ada seorang pun yang diketahui benar-benar
sembuh dari AIDS. Seseorang yang telah
terinfeksi HIV belum tentu terlihat sakit. Secara fisik dia akan sama dengan
orang yang tidak terinfeksi HIV. Apakah seseorang sudah tertular HIV atau tidak
hanya bisa diketahui melalui tes darah. Oleh karena itu 90% dari pengidap AIDS
tidak menyadari bahwa mereka telah tertular virus AIDS, yaitu HIV karena masa
inkubasi penyakit ini termasuk lama dan itulah sebabnya mengapa penyakit ini
sangat cepat tertular dari satu orang ke orang lain. Masa inkubasi adalah
periode atau masa dari saat penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh (saat
penularan) sampai timbulnya penyakit.
HIV/AIDS dapat juga
dapat berupa sindrom akibat defisiensi imunitas seluler tanpa penyebab lain
yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik dan keganasan berakibat
fatal. Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat
kekebalan tubuh dimana proses ini
tidak terjadi seketika melainkan
sekitar 5-10 tahun.
A. Perberdaan HIV dan AIDS
Fase HIV adalah fase dimana virus masuk ke dalam tubuh dan tubuh mulai
melakukan perlawanan dengan menciptakan antibodi. Pada fase ini, sebagian besar
orang tidak merasakan gejalanya sehingga disebut fase tanpa gejala.
Fase AIDS, adalah saat tubuh sudah tidak mampu melawan penyakit-penyakit
yang masuk dan menginfeksi tubuh. Biasanya dikatakan fase AIDS setalah muncul 2
atau lebih gejala. Misal flu yang sulit sembuh diiringi diare
dan menurunnya berat badan hingga >10%. Untuk
memudahkan penjelasannya. Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dibagi dalam 4 Stadium
perkembangan, yaitu:
- Stadium awal infeksi HIV, menunjukkan gejala-gejala seperti : demam, kelelahan, nyeri sendi, pembesaran kelenjar getah bening. Gejala-gejala ini menyerupai influenza/monokleosis.
- Stadium tanpa gejala, yaitu stadium dimana ODHA nampak sehat, namun dapat merupakan sumber penularan infeksi HIV. Masa ini bisa mencapai 5 hingga 10 tahun, bergantung dengan kekebalan tubuh dan kesehatan seseorang.
- Stadium ARC (AIDS Related Complex), memperlihatkan gejala-gejala seperti demam lebih dari 38oC secara berkala/terus-menerus, menurunnya berat badan lebih dari 10% dalam waktu 3 bulan, pembesaran kelenjar getah bening, diare/mencret secara berkala/terus-menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas, kelemahan tubuh yang menurunkan aktifitas fisik, berkeringat pada waktu malam.
B. Epidemiologi
HIVAIDS
HIV pertama kali
ditemukan oleh Dr. Luc Montagnier dan kawan-kawan dari Institut Pasteur
perancis pada Januari 1983. Virus ini diisolasi dari kelenjar getah bening yang
membengkak pada tubuh ODHA, sehingga virus ini pertama-tama dinamakan
Limphadenopathy Associated Virus (LAV). Pada bulan Juli 1984 Dr. Robert Gallo
dari lembaga kanker nasional (NIC), di Amerika Serikat juga menyatakan bahwa
dia menemukan virus baru dari seorang ODHA dengan memberikan nama Human
T-Lymphocytic Virus tipe III (HTLV III).
Imnuan lain J. Levy
juga menemukan virus penyebab AIDS yang
ia namakan AIDS Related Virus disingkat ARV. Akhir Mei 1986, komisi taksonomi
internasional sepakat untuk menyebut nama virus penyebab AIDS ini adalah Human
Immunodificeincy Virus (HIV). Di Indonesia kasus AIDS pertama kali
dilaporkan pada 1987 yang menimpa seorang warga negara asing di Bali. Tahun
berikutnya mulai dilaporkan adanya kasus di beberapa provinsi.
Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS tidak menular, yang menular adalah
HIV yaitu virus yang menyebabkan kekebalan tubuh mencapai masa AIDS. Virus ini
terdapat dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan vagina, dan bisa menular
pula melaui kontak darah atau cairan tersebut. Pada cairan tubuh lain
konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak bisa menjadi media atau saluran
penularan.
Tidak ada gejala khusus jika seseorang sudah terinfeksi HIV atau dengan
kata lain orang yang mengidap HIV tidak bisa dikenali melalui diagnosis gejala
tertentu, disamping itu orang yang terinfeksi HIV bisa tidak merasakan sakit.
Berbulan-bulan atau tahun seseorang yang sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa
menunjukkan gejala klinis yang khas tetapi baru tampak pada tahap AIDS.
Secara epidemiologik yang penting sebagai media perantara virus HIV
adalah semen, darah dan cairan vagina atau serviks. Penularan
virus HIV secara pasti diketahui melalui hubungan seksual (homoseksual,
biseksual dan hetero-seksual) yang tidak aman, yaitu berganti-ganti pasangan,
seperti pada promiskuitas. Penyebaran secara ini merupakan
penyebab 90% infeksi baru di seluruh dunia. Penderita penyakit menular seksual
terutama ulkus genital, menularkan HIV 30 kali lebih mudah dibandingkan orang
yang tidak menderitanya. Parenteral, yaitu melalui suntikan yang tidak steril,
misalnya pada pengguna narkotik suntik, pelayanan kesehatan yang tidak
memperhatikan sterilitas, mempergunakan produk darah yang tidak bebas HIV,
serta petugas kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS secara kurang
hati-hati. Perinatal, yaitu dari ibu yang mengidap HIV kepada janin yang
dikandungnya. Transmisi HIV-I dari ibu ke janin dapat mencapai 30%, sedangkan
HIV-2 hanya 10%. Penularan secara ini biasanya terjadi pada akhir kehamilan
atau saat persalinan. Bila antigen p24 ibu jumlahnya banyak, dan atau jumlah
reseptor CD4 kurang dari 700/ml, maka penularan lebih mudah terjadi. Ternyata
HIV masih mungkin ditularkan melalui air susu ibu.
Berdasarkan cara penularan, insidensi tertinggi penularan AIDS melalui
hubungan heteroseksual diikuti pengguna narkotika (nafza). Secara umum ada 5
faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi,
vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat
masuk kuman (port’d entree). Gambaran insidensi jumlah penderita AIDS
berdasarkan cara penularan AIDS dapat dilihat pada grafik.
Pada 10 tahun pertama sejak penderita AIDS pertama ditemukan di
Indonesia, peningkatan jumlah kasus AIDS
masih rendah. Pada akhir 1997 jumlah kasus AIDS kumulatif 153 kasus dan
HIV positif baru 486 orang yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel.
Pada akhir abad ke 20 terlihat kenaikan yang sangat berarti dari jumlah kasus
AIDS dan di beberapa daerah pada sub-populasi tertentu, angka prevalensi sudah
mencapai 5%, sehingga sejak itu Indonesia dimasukkan kedalam kelompok negara
dengan epidemi terkonsentrasi. Peningkatan jumlah penderita AIDS di Indonesia
tiap tahun ditunjukkan pada gambar.
Distibusi umur
penderita AIDS pada tahun 2008 memperlihatkan presentasi tertinggi pada
golongan umur 20-29 tahun dan penderita laki-laki lebih banyak daripada
perempuan. Hal ini dapat dilihat pada
grafik.
D. Etiologi
HIV/AIDS
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III.
Kemudian atas kesepakatan internasional
pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. HIV terdiri dari 2 tipe yaitu
virus HIV-1 dan HIV-2. Keduanya merupakan virus RNA (Ribonucleic Acid) yang termasuk retrovirus
dan lentivirus.
Karakteristik HIV:
a. Tidak
dapat hidup di luar tubuh manusia
b. Merupakan
virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia
c. Kerusakan
sistem kekebalan tubuh menimbulkan kerentanan terhadap infeksi penyakit
d. Semua
orang dapat terinfeksi HIV
e. Orang
dengan HIV + terlihat sehat dan merasa sehat
f. Orang
dengan HIV + tidak tahu bahwa dirinya sudah terinfeksi HIV
g. Seorang
pengidap HIV yang belum menunjukkan gejala dapat menularkan kepada orang lain.
Satu-satunya cara untuk mendapatkan kepastian infeksi HIV yaitu dengan tes darah.
Virus HIV termasuk virus RNA positif yang berkapsul. Diameternya sekitar
100 nm dan mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein
nukleokapsid seperti terlihat pada gambar. Pada permukaan kapsul virus terdapat glikoprotein
transmembran gp41 dan glikoprotein permukaan gp120. Di antara nukleokapsid dan
kapsul virus terdapat matriks protein. Selain itu juga terdapat tiga protein
spesifik untuk virus HIV, yaitu enzim reverse transkriptase (RT), protease
(PR), dan integrase (IN). Retrovirus
juga memiliki sejumlah gen spesifik
sesuai dengan spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural
virus), pol (fungsi struktural dan sintesis DNA), serta env
(untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu).
Infeksi HIV terjadi
saat HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan
dirinya pada protein permukaan CD4+. CD4+ berikatan dengan gp120 berupa glikoprotein yang
terdapat pada selubung virus HIV. Setelah terjadi ikatan maka RNA virus masuk
kedalam sitoplasma sel dan berubah menjadi DNA dengan bantuan enzim RT. Setelah
terbentuk DNA, virus menerobos masuk kedalam inti sel. Dalam inti sel, DNA HIV
disatukan pada DNA sel yang terinfeksi dengan bantuan enzim integrase. Waktu sel yang terinfeksi
menggandakan diri, DNA HIV diaktifkan dan
membuat bahan baku untuk virus baru. Virus yang belum matang mendesak ke
luar sel yang terinfeksi dengan proses yang disebut budding atau
tonjolan. Virus yang belum matang melepaskan diri dari sel yang terinfeksi.
Setelah melepaskan diri, virus baru menjadi matang dengan terpotongnya bahan
baku oleh enzim protease dan kemudian
dirakit menjadi virus yang siap bekerja. Keseluruhan siklus hidup HIV dapat dilihat pada gambar.
E. Patogenesis
HIV/AIDS
Perkembangan
penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk menghancurkan sistem
imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan HIV. Penyakit
HIV/AIDS dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh
respons imun adaptif dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer
yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan
memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel CD4+ dalam darah.
Setelah terjadi
infeksi primer, sel dendrit di epitel akan
menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel
dendrit mengekspresikan protein yaitu CCR5 yang berperan dalam pengikatan HIV,
sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid.
Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel CD4+ melalui kontak langsung antar
sel. Dari jaringan limfoid, HIV masuk ke dalam aliran darah dan kemudian
menginfeksi organ-organ tubuh.
Beberapa hari
setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat
dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai
dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus
lainnya). Setelah terjadi penyebaran
infeksi HIV, terbentuk respons imun adaptif
baik humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun ini
dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus yang menyebabkan
berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.
Setelah
terjadi infeksi akut dilanjutkan dengan
fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV
dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV,
sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan
sebagian besar sel tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel
CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel CD4+ yang
bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan
sel CD4+ yang hancur dengan yang baru.
Namun setelah beberapa tahun siklus infeksi virus, kematian sel dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan
jumlah sel CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik
progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain dan r espons imun terhadap
infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana
terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel CD4+ dalam darah
kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS
menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal dan degenerasi susunan saraf
pusat. Gambaran jumlah CD+ dalam perjalanan infeksi HIV sampai tahap AIDS dapat
dilihat pada gambar.
Virus HIV yang menginfeksi
seseorang dapat menimbulkan gejala klinis berbeda-beda. Lesi-lesi yang muncul
sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut sampai dengan gambaran AIDS yang
sempurna (full-blown AIDS). Kecepatan perkembangan penyakit bervariasi antar individu, berkisar
antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang diperlukan untuk berkembang
menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun. Perjalanan infeksi HIV dapat dilihat pada gambar.
F. Diagnosis
HIV/AIDS
Dalam menentukan diagnosis HIV positif
dapat ditegakkan berdasarkan
beberapa hal. Dalam menentukan diagnosis awal dapat dilihat dari riwayat
penyakit-penyakit yang pernah
diderita yang menunjukkan gejala HIV dan pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda infeksi opurtunistik. Selain itu
riwayat pergaulan dapat membantu
dalam menegakkan diagnosa AIDS karena
dapat menjadi sumber informasi awal penularan penyakit, hal ini seperti yang
terlihat pada tabel
Pemeriksaan
laboratorium dalam menentukan diagnosis infeksi HIV
dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan menunjukkan adanya antibodi
spesifik. Berbeda dengan virus lain, antibodi tersebut tidak mempunyai efek
perlindungan. Pemeriksaan secara langsung dapat dilakukan, yaitu antara lain
dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), asam nukleat virus.
Pemeriksaan adanya
antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid
Test, Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot. Sesuai dengan pedoman
nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis
pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan 1
pemeriksaan ELISA.
Pada pemeriksaan
ELISA, hasil test ini positif bila antibodi dalam
serum mengikat antigen virus murni di dalam enzyme-linked antihuman
globulin. Pada minggu 23 masa sakit telah diperoleh basil positif, yang
lama-lama akan menjadi negatif oleh karena sebagian besar HIV telah masuk ke
dalam tubuh .Interpretasi pemeriksaan ELISA adalah pada fase pre AIDS basil
masih negatif, fase AIDS basil telah positif. Hasil yang semula positif menjadi
negatif, menunjukkan prognosis yang tidak baik.
Pemeriksaan Western Bolt
merupakan penentu diagnosis AIDS setelah test ELISA dinyatakan positif. Bila
terjadi serokonversi HIV pada test ELISA dalam keadaan infeksi HIV primer,
harus segera dikonfirmasikan dengan test WB ini. Hasil test yang positif akan
menggambarkan garis presipitasi pada proses elektroforesis antigen-antibodi HIV
di sebuah kertas nitroselulosa yang terdiri atas protein struktur utama virus.
Setiap protein terletak pada posisi yang berbeda pada garis, dan terlihatnya
satu pita menandakan reaktivitas antibodi terhadap komponen tertentu virus.
Berdasarkan kriteria WHO, serum dianggap positif
antibodi HIV-1 bila 2 envelope pita glikoprotein terlihat pada garis. Serum
yang tidak menunjukkan pita-pita tetapi tidak termasuk 2 envelope pita
glikoprotein disebut indeterminate. Hasil indeterminate harus
dievaluasi dan diperiksa secara serial selama 6 bulan sebelum dinyatakan
negatif. Bila hanya dijumpai 1 pita saja yaitu p24, dapat diartikan hasilnya
fase positif atau fase dini AIDS atau infeksi HIV-1.
Waktu antara infeksi dan serokonversi yang berlangsung
beberapa minggu disebut antibody negative window period. Pada awal
infeksi, antibodi terhadap glikoprotein envelope termasuk gp41 muncul dan
menetap seumur hidup. Sebaliknya antibodi antigen inti (p24) yang muncul pada
infeksi awal, jumlahnya menurun pada infeksi lanjut. Pada infeksi HIV yang
menetap, titer antigen p24 meningkat, dan ini menunjukkan prognosis yang buruk.
Penurunan cepat dan konsisten antibodi p24 juga menunjukkan prognasi yang buruk.
G Stadium
Klinis HIV/AIDS
WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak
dimana stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika
dilihat dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah
sebagai berikut.
Klasifikasi CDC merupakan pembagian HIV/AIDS berdasarkan jumlah sel CD4+
dan kondisi tubuh penderita yang berhubungan dengan diagnosa HIV. Klasifikasi
CDC dapat dilihat pada Tabel.
H.
Cara Penularan HIV/AIDS
a. Penularan Seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada
kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan
rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa
pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung,
dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa
dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk
melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan
sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV
Penyakit menular
seksual
meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena
adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis
dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar
risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan
oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun
lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal
limfosit dan makrofag.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan
dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan
penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antar
orang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi
tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat
kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan
81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1
karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan
kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi
dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
b. Kontaminasi Patogen Melalui Darah
Jalur penularan ini terutama
berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi
oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV,
tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab
sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan
jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure
prophylaxis
dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.
Pekerja fasilitas kesehatan
(perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan
walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang
memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan
universal sering
kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya
sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari
semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada
fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini,
mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk
mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima
transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor
bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak
memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV
dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".
c. Penularan Masa Perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat
terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak
ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan
adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap
terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor
dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan
(semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
I.
Komplikasi HIV/AIDS
1. Penyakit Saluran Pernapasan.
Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP
jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai
pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan
tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara
Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit
ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites,
walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL. Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara
infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang
yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan
mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV,
serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC
terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di
negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan
pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang
terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada
stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai
penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai
penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis
ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik
(konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai
infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran
pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan demikian, gejala yang muncul
mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
2. Penyakit Saluran Pencernaan.
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke
lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi
jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes
simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi
karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum
(seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang
tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium
avium complex,
dan virus
sitomegalo (CMV) yang
merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk
menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu
sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani
bakteri diare (misalnya pada Clostridium
difficile). Pada
stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya
perubahan cara saluran
pencernaan menyerap
nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang
berhubungan dengan HIV.
3. Penyakit Syaraf dan Jiwa.
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam
kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae),
yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi
rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma
gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak
akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan
menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Meningitis kriptokokal
adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum
tulang belakang) oleh
jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga
mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak
ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan
selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di
tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem
kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini
berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya
menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit
penurunan kemampuan mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya
metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV;
dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV,
sehingga mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan syaraf yang spesifik,
tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang
muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan
keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada
plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah
sekitar 10-20%, namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap
infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV
di India.
4. Kanker dan Tumor Ganas.
Pasien dengan infeksi HIV pada
dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker.
Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus
Epstein-Barr (EBV),
virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang
paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada
sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan
oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus
herpes manusia-8 yang
juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di
kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain,
terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan
terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau
sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma
(DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV.
Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis)
yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini
sebagian besar disebabkan oleh virus
Epstein-Barr atau
virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker
leher rahim pada
wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia. Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat
terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker
usus besar bawah (rectum),
dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor
yang umum seperti kanker
payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat
kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS,
kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada
saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada
pasien yang terinfeksi HIV.
5. Infeksi oportunistik lainnya.
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi
oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi
oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium
avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan
gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan
gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang
disebabkan oleh jamur Penicillium
marneffei, atau
disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik
ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di
daerah endemik Asia
Tenggara.
J.
Penatalaksanaan HIV/AIDS
Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS
terdiri atas beberapa jenis yaitu pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV
dengan obat antiretroviral (ARV), pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit
infeksi opportunistik menyertai infeksi HIV/AIDS dan pengobatan suportif.
1. Terapi
antiretroviral (ARV)
Terapi anti-HIV
yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy),
yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini
terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral load) sampai
dengan kadar di bawah ambang deteksi. Waktu memulai terapi ARV harus
dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka
panjang. ARV dapat diberikan apabila
infeksi HIV telah ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan
secara laboratoris. Alur pemberian terapi ARV.
Obat ARV
direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk
dalam kriteria diagnoss AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa
melihat jumlah CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik
dengan jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan
limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih
dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi
ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah limfosit CD4+ lebih dari
350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml. Keadaan untuk memulai
terapi ARV ditunjukkan pada table.
Terapi
HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat ARV yang berfungsi
menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang
diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse
transcriptase (RT) dan protease.
Inhibitor RT ini terdiri dari inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan
nonnukleosid (nonnucleoside-based
inhibitor). Obat
ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), protease inhibitor (PI).
Nucleoside Reverse
Transcriptase Iinhibitor atau NRTI merupakan analog nukleosida.
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama proses transkripsi
RNA virus pada DNA host. Analog NRTI
akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara
kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan
mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan berikatan langsung dengan enzim
reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang termasuk dalam
golongan NRTI antara lain Abacavir (ABC), Zidovudine (AZT), Emtricitabine
(FTC), Didanosine (ddI), Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir. Obat
yang termasuk NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP), Delavirdine.
Protese Inhibitor (PI) bekerja dengan cara menghambat protease
HIV. Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnya
protease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan
perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan
tidak infeksius terhadap sel. Yang termasuk golongan PI antara lain Ritonavir
(RTV), Atazanavir (ATV), Fos-Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV)
and Saquinavir (SQV).
Terapi lini pertama
yang direkomendasikan WHO adalah kombinasi dua obat golongan NRTI dengan satu obat golongan
NNRTI. Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat
yang lain dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya.
Analog thiacytadine (3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan dalam terapi lini
pertama. 3 TC atau FTC dapat dikombinasi dengan analog nukleosida atau
nukleotida seperti AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI) merupakan analog
adenosine direkomendasikan untuk terapi lini kedua. Obat golongan NNRTI, baik
EFV atau NVP dapat dipilih untuk dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi
lini pertama. Terapi lini pertama dapat juga dengan mengkombinasikan 3 obat
golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit untuk diperoleh. Pemilihan
regimen obat ARV sebagai lini pertama.
Evaluasi pengobatan
dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan dapat digunakan untuk
memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Kegagalan terapi dapat
dilihat secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit secara imunologis
dengan penghitungan CD4+ dan atau secara virologi dengan mengukur viral-load.
Kegagalan terapi terjadi apabila terjadi penurunan jumlah CD4+.
Selain itu
terjadinya toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping
dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut
dapat dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan
fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam
kombinasi obat yang dipakai.
Penilaian klinis
toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan (immuno
reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan yang dapat
muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi
oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi
terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi
terutama pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut.
Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi
oportunistik.
Apabila terjadi
penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini pertama dan didapat tanda
terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi
Pada kegagalan
terapi dianjurkan untuk mengganti semua obat lini pertama dengan rejimen lini
kedua. Rejimen lini kedua pengganti harus terdiri dari obat yang kuat untuk
melawan galur/strain virus. Terapi lini kedua yang direkomendasikan WHO terdiri
dari kombinasi 2 regimen obat golongan NRTI dengan regimen obat golongan PI
dosis rendah. Ritonavir merupakan pilihan utama golongan PI dalam terapi lini
kedua. Golongan NRTI yang menjadi pilihan untuk terapi lini kedua adalah ddI
atau TDF. Penambahan golongan NNRTI dapat digunakan apabila pada terapi lini
pertama menggunakan 3 obat golongan NRTI. Pemilihan
regimen obat ARV untuk lini kedua dapat dilihat pada gambar.
2. Terapi
Infeksi Opportunistik
Infeksi
oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas AIDS, dengan angka sekitar 90%.
Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang
sebetulnya berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di
sekitar kita, sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara
hidup penderita.
Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis dimana
pneumonia karena P.carinii merupakan
infeksi oportunistik tersering, diikuti oleh infeksi M tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur, sedangkan pneumonia
viral lebih jarang terjadi. Alasan
terpenting mengapa sering terjadi komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV
adalah konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar secara kronis terhadap
bahan-bahan infeksius maupun noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain
juga terjadi paparan secara hematogen terhadap virus HIV (endogen) yang
melemahkan sistem imun. Komplikasi pulmonologis, terutama akibat infeksi
oportunistik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama serta bisa
terjadi pada semua stadium dengan berbagai manifestasi.
Pneumocystis carinii (P. cranii) diklasifikasikan sebagai jamur. P. cranii
merupakan penyebab Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) yang merupakan infeksi
oportunistik tersering pada infeksi HIV/AIDS.Lebih dari separuh (70-80%)
penderita AIDS mendapatkan paling sedikit satu episode PCP pada perjalanan
klinis penyakitnya, denganmortalitas berkisar antara 10-40%.
Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya pneumonia yang
terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita harus di rawat
di rumah sakit karena mungkin memerlukan bantuan ventilator (sekitar 40%
kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol intravena dosis tinggi. Terapi
antibiotika ini diberikan selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan
antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi dengan antibiotika per oral
untuk jika sudah memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan (PaO2 <70 mmHg
atau gradien arterial-alveoler >35), memerlukan kortikosteroid dan diberikan
sesegera mungkin (dalam 72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan risiko
komplikasi dan memperbaiki prognosis.16,18 Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat
diberikan kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960 mg selama 21 hari. Alternatif
terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin intravena (pilihan kedua) dan
klindamisin plus primakuin (pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-sedang dapat
diberikan dapsone plus trimetoprim, klindamisin plus primakuin, atovaquone atau
trimetrexate plus leucovorin.
Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada infeksi
HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita. Berdasarkan
data World Health Organization (WHO), pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta
orang penderita infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi M. tuberculosis dan
meningkatkan risiko kematian sebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa
tuberkulosis, dan seiring dengan derajat beratnya imunosupresi yang terjadi.
Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan
tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV harus
memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada. Namun pada beberapa atudi mendapatkan
tingginya angka kekambuhan pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) selama 6 bulan dibandingkan dengan 9-12 bulan.
Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin
karena rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim liver sitokrom P450 yang
memetabolisme PI dan NNRTI, sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam
darah sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion
dan timbulnya resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula
mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar
rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak
efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai
kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya
resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau
menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam
darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat ARV dan
terapi tuberkulosis serta meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga
pemakaian bersama obat-obat tersebut tidak direkomendasikan.
Sarkoma Kaposi jenis
endemik, merupakan manifestasi keganasan
yang paling sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang disebabkan oleh Cytomegalovirus
ini ditandai dengan lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh,
tungkai atas dan bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula
eritematosa agak menimbul, berwarna hijau kekuningan sampai violet. Cara
penularannya melalui kontak seksual. Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun
invasif di daerah anogenital; limfoma terutama neoplasma sel limfosit B;
keganasan kulit non melanoma serta nevus displastik dan melanoma, merupakan
neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.
Seperti halnya keganasan
lain, tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif bila dalam keadaan baru dan
besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon telah
dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang masa hidup,
sehingga lama terapi sulit ditentukan.
Dalam keadaan tidak dapat
mengurus dirinya sendiri atau dikhawatirkan sangat menular, sebaiknya penderita
dirawat di Rumah Sakit tipe A atau B yang mempunyai berbagai disiplin keahlian
dan fasilitas ICU. Perawatan dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis yang
menonjol pada penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit, sehingga perlu
perawatan dan perhatian penuh, termasuk memberikan dukungan moral sehingga rasa
takut dan frustrasi penderita dapat dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah
sakit terhadap penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan
keluarga penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan khusus. Perawatan
khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen yang potensial sebagai sumber
penularan. Petugas yang merawat perlu mempergunakan alat-alat pelindung seperti
masker, sarung tangan, yang jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit
terluka dari kemungkinan kontak dengan cairan tubuh penderita dan mencegah
supaya tidak terkena bahan/sampah penderita.
3. Pencegahan
Kegiatan pencegahan bagi
kemungkinan penyebarluasan HIV/AIDS dapat dilakukan dengan tujuan:
1)
Mencegah tertular virus dari pengidap
HIV/AIDS.
2)
Mencegah agar virus HIV tidak tertularkan
kepada orang lain
Cara penularan dan beberapa
hal yang perlu diperhatikan agar tidak tertular oleh virus HIV ini adalah :
A. Berperilaku
seksual secara wajar
Risiko
tinggi penularan secara seksual adalah para pelaku homoseksual, biseksual dan
heteroseksual yang promiskuitas. Penggunaan kondom pada hubungan seks merupakan
usaha yang berhasil untuk mencegah penularan; sedangkan spermisida atau vaginal
sponge tidak menghambat penularan HIV.
B. Berperilaku
mempergunakan peralatan suntik yang suci hama Penularan melalui peralatan ini
banyak terdapat pada golongan muda pengguna narkotik suntik, sehingga rantai
penularan harus diwaspadai. Juga penyaringan yang ketat terhadap calon donor
darah dapat mengurangipenyebaran HIV melalui transfusi darah.
C. Penularan
lainnya yang sangat mudah adalah melalui cara perinatal. Seorang wanita hamil
yang telah terinfeksi HIV, risiko penularan kepada janinnya sebesar 50%.
Untuk mencegah agar virus
HIV tidak ditularkan ke orang lain dapat dilakukan dengan cara bimbingan kepada
penderita HIV yang berperilaku seksual tidak aman, supaya menjaga diri agar
tidak menjadi sumber penularan. Pengguna narkotik suntik yang seropositif agar
tidak memberikan peralatan suntiknya kepada orang lain untuk dipakai; donor
darah tidak dilakukan lagi oleh penderita seropositif dan wanita yang
seropositif lebih aman bila tidak hamil lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif M. 2000. Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) Edisi
III. Jakarta: Kapita
Selekta Kedokteran
Lan, Virginia
M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit -
Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Edisi III. Jakarta:
EGC
Merati, Tuti P. Respon Imun Infeksi HIV. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI
Nasronuddin. 2007. HIV
& AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial.
Surabaya: Airlangga University Press
0 komentar:
Posting Komentar